Biografi Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama
salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di
daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri
memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri,
Kebomas, Gresik.
Silsilah
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Saadah Ba Alawi Hadramaut.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Dakwah dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
SEJARAH DAN
ASAL USUL SUNAN GIRI, ULAMA PENDIRI KERAJAAN ISLAM GIRI KEDATON
Sunan Giri
memiliki nama asli Raden Paku. Sewaktu masih mondok di pesantren Ampeldenta,
Raden Paku bersahabat sangat akrab dengan putra Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang bernama Raden Makdum Ibrahim
(kelak dikenal sebagai Sunan Bonang). Keduanya bagai saudara kandung yang
saling menyayangi dan saling mengingatkan. Setelah berusia 16 tahun, kedua
pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di
negeri seberang sambil meluaskan pengalaman.
Sunan Ampel berpesan kepada Raden
Paku dan Raden Makdum Ibrahim untuk belajar ke negeri Pasai karena disana
ditempati oleh banyak orang pandai dari berbagai negeri. Di negeri Pasai
terdapat ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Sunan Ampel mengatakan
bahwa ulama tersebut memiliki nama asli Syekh Maulana Ishak dan merupakan ayah
kandung Raden Paku. Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum
Ibrahim.
RADEN PAKU BERTEMU SYEKH MAULANA ISHAK DI PASAI
Begitu sampai di negeri Pasai, Raden
Paku dan Raden Makdum Ibrahim disambut Syekh Maulana Ishak dengan gembira,
penuh haru dan bahagia karena ayah kandung Raden Paku itu tidak pernah melihat
anaknya sejak bayi. Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil
ditemukan di tengah samudera oleh Nyi Ageng Pinatih. Ia kemudian diangkat
sebagai anak dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya, Syekh Maulana Ishak
kemudian menceritakan pengalamannya saat ia berdakwah di Blambangan (saat ini
dikenal sebagai daerah Banyuwangi, Jawa Timur) sehingga ia terpaksa harus
meninggalkan isteri yang sangat dicintainya. Raden Paku menangis ketika
mendengar cerita dari ayah kandungnya tersebut.
Raden Paku bukan menangisi
kemalangan dirinya yang telah disia-siakan oleh kakeknya, yaitu Prabu Menak
Sembuyu. Ia menangis karena memikirkan nasib ibunya yang tidak diketahui lagi
tempatnya dimana. Apakah ibunya tersebut masih hidup atau sudah meninggal
dunia.
Dalam sejarah Kerajaan Blambangan,
Prabu Menak Sembuyu merupakan raja beragama Hindu yang kejam. Pada saat rakyat
Kerajaan Blambangan diserang wabah penyakit, Syekh Maulana Ishak tampil sebagai
penyelamat. Yang diselamatkan bukan hanya rakyat Blambangan, tetapi juga putri
Prabu Menak Sembuyu. Putri Blambangan tersebut akhirnya jatuh cinta dan menikah
dengan Maulana Ishak, namun pernikahan tersebut tidak direstui oleh Menak
Sembuyu.
Maulana Ishak diusir oleh Prabu
Menak Sembuyu dan berdakwah ke Pasai. Sedangkan Raden Paku yang masih bayi
dibuang oleh ibunya ke laut untuk menghindari pembunuhan oleh kakeknya sendiri.
Bayi tersebut kemudian ditemukan oleh Nyai Ageng Manila, janda kaya yang
merawat Raden Paku sebagai anaknya sendiri.
RADEN PAKU BELAJAR AGAMA ISLAM DI NEGERI PASAI
Di negeri Pasai banyak ulama besar
dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran Islam kepada penduduk
setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim.
Kedua pemuda tersebut belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana
Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden
Paku dikaruniai ilmu laduni, yaitu ilmu yang datangnya langsung dari Tuhan,
sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu
Tauhid mereka juga belajar ilmu tasawuf dari ulama Iran, Bagdad, dan Gujarat
yang menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh
dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga
terlihat benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi. Ilmu tersebut sebenarnya
hanya pantas dimiliki oleh ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya
di Pasai kemudian memberikan nama Raden Paku dengan gelar Syekh Maulana Ainul
Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di Pasai
dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, maka Raden
Paku dan Raden Makdum Ibrahim diperintahkan kembali ke Tanah Jawa. Oleh
ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah. Pesan
Syekh Maulana Ishak adalah mendirikan pesantren di Gresik yang memiliki tanah
sama persis dengan tanah yang ada di dalam bungkusan kain putih.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke
Surabaya. Mereka melaporkan semua pengalamannya sewaktu di Pasai kepada Sunan
Ampel. Sunan Ampel kemudian memerintahkan Raden Makdum Ibrahim untuk berdakwah
di daerah Tuban. Sedangkan Raden Paku diperintahkan pulang ke Gresik menuju
rumah ibu angkatnya, Nyai Ageng Pinatih.
RADEN PAKU MENDIRIKAN PESANTREN GIRI KEDATON
Dalam sejumlah sumber sejarah
menyebutkan bahwa Raden Paku dijodohkan dengan Dewi Wardah putri Ki Ageng
Bungkul dan Dewi Murtasiah putri Sunan Ampel. Sesudah berumah tangga, Raden
Paku makin giat berlayar dan berdagang antar pulau. Sambil berlayar itu pula
beliau menyiarkan agama Islam kepada penduduk setempat sehingga namanya cukup
terkenal di kepulauan Nusantara.
Lama-lama kegiatan berdagang
tersebut tidak memuaskan hatinya. Raden Paku ingin berkonsentrasi menyiarkan
agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya
untuk meninggalkan dunia perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu
tidak keberatan. Maka dimulailah Raden Paku bertafakur di goa yang sunyi selama
40 hari 40 malam. Ia bermunajat kepada Allah di sebuah desa yang saat ini
dikenal dengan nama Kebomas, Gresik.
Usai bertafakur teringatlah Raden
Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Diapun berjalan
berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang ia bawa
dari Pasai. Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan
yang berhawa sejuk, hatinya terasa damai. Ia pun mencocokkan tanah yang
dibawanya dengan tanah tempat ia berada saat itu. Ternyata cocok sekali.
Maka di desa Sidomukti itulah Raden
Paku kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu berupa dataran tinggi
atau gunung maka dinamakan Pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sanskerta artinya
gunung. Atas dukungan isteri-isteri dan ibunya dan juga dukungan spiritual dari
gurunya, Sunan Ampel, maka dalam waktu tiga tahun nama Pesantren Giri sudah
terkenal ke seluruh Nusantara. Raden Paku pun dikenal dengan nama Sunan Giri.
gambar
kaligrafi Allah Muhammad logo agama Islam
SUNAN GIRI MEMERINTAH KERAJAAN ISLAM GIRI KEDATON
Pada
penjelasan di atas telah disebutkan bahwa hanya dalam waktu tiga tahun Sunan Giri telah berhasil mengelola pesantrennya hingga terkenal ke seluruh
Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya ke
negeri Pasai, Raden Paku memperkenalkan diri kepada dunia dengan mendirikan
pesantren di atas bukit di kota Gresik. Sunan Giri menjadi orang pertama yang
paling terkenal diantara sunan-sunan lainnya yang mendirikan pesantren di
daerah giri (pegunungan).
Masih
menurut Dr. H.J. De Graff, di atas gunung di Gresik tersebut seharusnya saat
ini terdapat sebuah istana karena sejak lama rakyat setempat membicarakan
keberadaan Giri Kedaton atau Kerajaan Giri. Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala
penjuru Nusantara, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makassar, Hitu dan Ternate.
Sedangkan menurut babad tanah Jawa,
murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua
besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan wilayah lain di dunia. Semua
itu adalah penggambaran nama besar Sunan Giri sebagai ulama penting yang sangat
dihormati orang pada jamannya. Di samping pesantrennya yang besar, Sunan Giri
juga membangun masjid sebagi pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya. Untuk
para santri yang datang dari jauh, beliau juga membangun asrama yang luas.
Jasa Sunan Giri yang terbesar tentu
saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan sampai ke
Nusantara, baik dilakukan Sunan Giri sendiri saat masih muda sambil berdagang
maupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau. Sunan Giri
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan apabila seorang
putra mahkota hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari
Sunan Giri.
Semoga artikel sejarah budaya dan
sejarah Islam ini bisa menambah wawasan Anda tentang kekayaan budaya di
Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar